Sunday 28 June 2009

Merpati dan kenangan masa kecil

“Ma..coba dech liat burung merpati itu”, kataku sambil menunjuk seekor merpati putih yang sedang bertengger di atap rumah tetangga sebelah. Putih sayapnya tampak sangat indah apalagi ketika sinar mentari pagi samar-samar menyentuh bulu-bulu halus itu. “Ada apa sayang dengan merpati itu?”, kata mama sambil membelai rambutku yang halus, karena pagi ini aku mandi dengan bilasan shampoo dikepalaku. “Coba mama pandangi merpati itu lebih dalam. Merpati itu sedang gelisah. Seperti…emm..menanti sesuatu mungkin?!”. Mama hanya menatapku, dalam. Lalu terdiam. Kami berdua seakan terlelap oleh belaian angin, tak ada sepatah katapun kecuali suara detak jantung mama dan aku, meskipun hanya lirih.
“emm..”, akhirnya suara mama memecah heningnya suasana. Aku melirik kearah mama, senyum indah tergambar dari bibir mama. Mama mendaratkan bibirnya tepat didahiku, tanpa ada sedikitpun perlawanan dariku tentunya. Mama kemudian pergi meninggalkan aku sendirian dengan ditemani suara langkah kaki yang perlahan mulai memudar. Aku terdiam sendiri dengan pertanyaan tanpa jawaban dari mulut mama. Aku menarik nafas panjang lalu aku hembuskan perlahan. Tatapanku kembali jatuh pada merpati putih itu.
Aku terpaksa menjatuhkan pertanyaan pada diriku sendiri, apa yang sedang dinanti oleh merpati itu. Mengapa merpati itu sangat cemas. Padahal tak ada mendung ataupun sengatan matahari yang berlebihan, bahkan menurutku hari ini lebih indah dari pada kemarin. Aku memasukkan tanganku kedalam saku celana, karena mungkin aku juga merasakan kecemasan yang sama dengan merpati itu. Lama-lama aku dilanda kebosanan berdiri di lantai balkon kamar ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menghapuskan pandangan dan pikiranku dari merpati itu.
Aku menyeret kakiku perlahan, menimbulkan bunyi yang (sebenarnya) tidak enak didengar. Tapi aku sudah lelah untuk mengangkat kakiku berjalan normal. Ketika aku baru menapakkan kaki kiriku kedalam kamar, tiba-tiba telingaku menangkap bunyi yang lumayan keras. Seperti bunyi senapan api. “Door..” bunyi itu memaksaku untuk menolehkan kepala. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Merpati dengan bulu-bulu putih halus itu kini berubah menjadi lumuran merah darah. Matanya seakan ingin mengatakn sesuatu isyarat yang tak bisa aku tangkap. Entah karena aku terlalu kecil untuk membaca sebuah isyarat ataukah karena aku memang tak bisa.
Aku, lelaki kecil berbalut kulit 7 tahun melihat sesuatu yang seharusnya tak pernah aku lihat. Sebuah kematian yang akan terekam selama aku masih bisa memijakkan kakiku. Tapi ada satu yang membuat aku bersyukur sampai kini, aku tidak dianugerahi sepasang sayap dan keindahan yang melebihi akal normalku. Karena dengan dua anugrah itu, mungkin bukan merpati yang mati tetapi aku. Seiring bertambahnya cara berfikirku, aku menyadari bahwaTuhan takkan menciptakan sesuatu itu sempurna, karena terkadang kesempurnaan hanya membuat kita melupakan untuk apa kita dihembuskan..

0 komentar:

shotbodoh

shoutbox

coretanbodoh

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP