Saturday 6 June 2009

Kisah selasa pagi

Selasa pagi itu ketika matahari pun masih enggan untuk menampakkan seluruh auranya, kumbang2 pagi juga masih berselimut dibalik hangatnya dedaunan, bola mata bulatku tertuju pada seorang kumuh, berbaju compang-camping sedang mengais-ngais di antara sampah –sampah yang menggunung. Tangannya menggenggam sebungkus yang mungkin didalamnya berisi nasi ataupun kue. Ia lalu melihat kedalam bungkusan itu dan hingga berapa saat matanya tidak berpindah dari bungkusan itu. Ia kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal tak terawat, panjang tapi berwarna rada kemerahan(mungkin karena rambutnya tidak pernah merasakan nikmatnya shampo). Tampak ada kotoran yang terlihat sebesar jempol-jempol tangannya jatuh ketanah dari rambut gimbalnya itu. Aku hanya mengamati dari kejauhan. Menit demi menit terus bergulir, dan lelaki itu masih terlihat sibuk mengamati isi bungkusan itu. Aku mulai jenuh, kakiku mulai linu tapi aku tak ingin melewatkan kejadian yang akan terjadi berikutnya. Aku melihat ada tumpukan batu di belakangku. Aku kemudian duduk diatas batu yang keras itu. Aku mencari posisi yang “aman” agar pantatku tidak meraskan sakit maupun luka. Tangan kanan lelaki itu masih menggenggam bungkusan tadi. Kini tangan kirinya tidak lagi menggaruk kepalanya yang ditumbuhi rambut-rambut gimbal tak terawat itu, tapi tangan kirinya kini menggaruk-garuk kaki kanan kemudian kiri begitu seterusnya. Aku melihat ada darah yang keluar dari kaki kanannya akibat ia garuk-garuk. Tapi lelaki itu seakan-akan tak peduli, walaupun(mungkin) kakinya diamputasi pun ia tak menyadarinya. Karena tak tahan melihat darah yang keluar dari kaki kanan lelaki itu, aku kemudian meludah. Jijik aku melihatnya. Aku mulai merasakan sinar mentari yang menyilaukan pandanganku. Aku juga mendengar ada beberapa kumbang yang mulai bernyanyi, bahkan ada yang tanpa permisi terbang didepanku. Mataku melirik kearah jarum jam. Ternyata sudah hampir 1 jam aku disini, dan lelaki itu juga masih seperti itu. Tangan kanannya menggenggam bungkusan dan tangan kirinya sibuk menggaruk kemana-mana. Aku sudah tak tahan melihat adegan ini. Perasaanku sudah mulai terusik, kakiku sudah tak tahan untuk menahan berat badanku. Walaupun duduk diatas batu, tetapi kakiku tetap merasakan linu. Akupun memutuskan untuk mendatangi orang yang aku sebut gembel itu. Aku menengok kekiri dan kekanan untuk memastikan bahwa jalan itu aman. Kakiku mulai melangkah melewati jalanan beraspal. Langkah kakiku berhenti tepat didepan gembel itu. Ia tidak peduli atau emang tidak menyadari kedatangaku. Ia terlihat masih sibuk dengan bungkusan itu. Aku kemudian mencoba untuk bertanya. Dari mulutku,keluar kata-kata :
“maap pak, dari tadi saya melihat bapak memegang bungkusan itu. Tapi kenapa bapak tidak ingin memakan isinya?. Sepertinya bapak sangat lapar dan bukankah itu bungkusan nasi?!.” Mataku melirik kebungkusan itu, tapi tangan gembel itu menutupi pandanganku.
Berapa menit kemudian ia berkata dengan suaranya yang sangat parau seakan tenggorokannya tidak pernah tersiram oleh air selama berapa hari.
“saya juga binggung, apakah saya harus memakannya atau tidak?. Karena jika saya tidak memakannya, saya akan sangat kelaparan. Tapi gimana saya mau makan kalau yang ada dibungkusan ini hanyalah nasi basi yang dipenuhi oleh belatung?”
Itulah sepenggal kisah di selasa pagi yang suram, sesuram berapa hati para “pengelana”. Para “penggelana” yang hilang akan dirinya.

0 komentar:

shotbodoh

shoutbox

coretanbodoh

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP